By: Sahabatbaik
“Aaaahh….” sambil memeras rambut, suara orasi salah
seorang pengurus serikat pekerja itu sudah tidakku hiraukan lagi bahkan nyaris tidak terdengar
yang ada dalam pikiranku saat ini adalah
bagaimana menyelesaikan dua masalah yang kuhadapi. Serasa sesak dada bila
mengingat dua pilihan yang cukup berat ini. Belum lagi mendengar pembicaraan
teman-teman yang justru semakin menyudutkan diriku, padahal aku ingin mendapatkan solusi dari masalah yang
kuhadapi. Sementara waktu semakin mendesak aku untuk segera mengambil keputusan.
Kawan seperjuangannya diserikat pekerja, Mansur teman
berbagi cerita saat ini, bukan memberikan jalan keluar dari dua pilihan yang kuhadapi
malah mendesak aku untuk berpihak kepadanya dalam melanjutkan perjuangannya
diserikat pekerja.
“Bung Harun apakah
kau akan tinggal diam membiarkan serikat pekerja ini didominasi oleh Tono dan
membawanya kepada kearah yang tidak jelas”.
“Siapa lagi yang akan menggantikan Aku memegang pucuk pimpinan
serikat pekerja ini,karena saya tak mungkin untuk menjabat untuk periode yang
ketiga?”.
”Apakah kau tidak
sadar organisasi kita saat ini sarat dengan kepentingan pragmatis,orang-orang yang
mencari keuntungan dari organisasi ini, orang yang tidak peduli dengan buruh
dan pro kepada pemilik perusahaan ini”?.
Kata-kata mansur yang
selalu terngiang-ngiang di telinga menambah beban berat pikiranku.
Mansur adalah salah seorang teman yang mempunyai
pemikiran yang sama denganku, dialah salah seorang pengurus yang masih mempunyai
idealisme untuk berjuang membela kepentingan buruh, Dia pula yang
memperkenalkan aku dengan dunia perburuhan. Dia yang membawa aku kesetiap acara
seminar atau workshop tentang perburuhan.
Tanpa kusadari
ternyata mansur sangat ingin aku menjadi pengganti dia dalam kepengurusan serikat
pekerja tersebut. Sudah dua periode dia
menjabat sebagai ketua serikat pekerja, tak lama lagi masa kepengurusan akan
berakhir dan dia tidak ingin
kepengurusan yang akan datang jatuh kepada orang yang tidak membela kepada
kepentingan buruh atau orang orang yang pragmatis yang ingin mencari kepentingan
pribadi pada kepengurusan organisasi ini atau bahkan orang-orang yang memang dirancang oleh
pemilik perusahaan untuk mengambil alih serikat pekerja agar tidak menjadi
radikal seperti saat ini.
......
”Hore ayah
pulang............” demikian sambut anakku yang memasuki usia dua tahun menyergap
kaki kananku. Aku biarkan kaki ini melangkah dengan berat karena pelukan jagoan
kecil pada betis kaki yang menjadikan
kebiasaanya dalam bermain-main denganku. ” Ayo kuda-kuda jalannya cepet dong”
teriak anakku. Sengaja aku jalan berputar-putar demi untuk menyenangkan anakku.
” Ade udah dong
jangan begitu terus kasihan tuh ayah kan cape pulang kerja” kata istriku melihat
aku yang kelelahan setelah sepanjang hari bekerja.
” Ya ibu, ade kan lagi main kuda-kudaan, ya
kan ayah” sikecil mencari
pembelaan pada ku. ”Ya ga apa-apa tapi ade udah mandi belum?” tanyaku.
”Ya udah ade
mandi dulu ya ayah nanti main kuda-kuda lagi” Suara cadel itu meluncur
dari mulutnya yang mungil, aku hanya
tersenyum mengiyakan. Kemudian dia berlari ke kamar mandi.
“Bang beras kita
sudah mau habis,susu hamil
saya juga sudah mau habis saya kadang gak enak makan nasi serasa mual” Adu
istriku sambil memegang perutnya yang sedang hamil enam bulan calon anak kami
yang kedua. Sebuah perkataan yang menyadarkanku dari lamunan ketika melihat
anakku yang merasa senang keinginannya untuk bermain dituruti.
“Sabarlah lis,
nanti coba abang mau ketemu sama ketua koperasi agar limit belanja dikoperasi
bisa ditambah” jawabku lirih.
Demo buruh |
Semenjak aku
aktif di kegiatan organisasi ditambah lagi eskalasi pergerakan perburuhan yang
semangkin meningkat hampir hampir aku tidak sempat untuk bekerja lembur yang
merupakan tambahan dari penghasilanku. Sementara bisnis yang aku jalani pun
tersendat, sehingga begini akhirnya setiap bulan belanja kebutuhan dapurku
selalu tekor. Beruntungnya aku masih bisa berhutang di koperasi.
Kalau mengingat
itu semua kembali sebuah dilema pilihan jalan hidup kembali terngiang-ngiang, antara berjuang bersama
kawan-kawan membela ketertindasan dan kesewenang-wenangan para pengusaha
terhadap buruh. Mereka mengeksploitasi tenaga buruh untuk menghasilkan produknya sementara penghasilan
yang di terima sangat jauh dibawah upah yang layak belum lagi status mereka
yang sebagai buruh outsourching maupun kontrak yang sewaktu waktu bisa terputus
hubungan kerja tanpa mendapatkan apa apa.
Namun
bayang-bayang pertemuan itupun masih teringat saat aku dipanggil
oleh seorang manajer yang tak lain ada teman satu
angkatanku ketika kuliah dulu. Agaknya ia ditugaskan untuk
membujukku agar menghentikan semua aktivitas di perburuhan dan dia
menjanjikan akan memberikan sebuah
kenaikan jabatan serta otomatis gaji yang diterima pun akan meningkat belum
lagi tunjangan kendaraan sebagai fasilitas yang akan didapat dari jabatan
tersebut belum lagi tunjangan fantastis lainnya.
Sepertinya sang
kawan itu lupa ketika sewaktu kuliah dulu dengan setumpuk idealisme yang diusung
ketika sama-sama aktif di pergerakan mahasiswa selalu lantang menyuarakan
ketidakadilan di negeri ini. Jabatan memang telah membuat silau dan melunturkan
idealisme.
Tak ada beda
dengan sebagian mantan aktivis mahasiswa yang dulu berteriak dengan lantang di
parlemen jalanan tapi ketika mereka berada di gedung parlemen dengan kursi
empuk, ketika mereka menjadi asisten mentri bahkan asisiten presiden lupalah
mereka dengan segala teriakan perjuangan, bahkan sudah menjadi mentripun
terlibat korupsi dan suap, Sungguh ironis.....!!!.
Sang kawan itu memberikan jeda waktu seminggu untuk menjawab tawaran itu, sebuah
tawaran yang mengiurkan di tengah hidupku yang
terhimpit oleh kesulitan yang aku sendiri sudah merasa bosan menghadapinya dan ingin berusaha
meningkatkan tarap hidupku. Aku ingin membangun rumah tangganya menuju kemakmuran dan memberi pendidikan
yang layak untuk anak-anakku.
Terbersit rasa iri oleh kemakmuran sang kawan tersebut.
“Bang .... ayo
makan tuh sudah lis sediakan dimeja makan”, tegur istriku membuyarkan lamunan
itu. Kulihat di meja makan ada sepiring nasi yang ditemani oleh urap kangkung
dan ikan asin, namun tanpa
sepotong pun tahu dan tempe. Aku tidak berani menanyakan kedua makanan kesukaan
itu karena akupun tahu dikoran dan
televisi harga kedelai yang melonjak membuat para pengusaha kecil pengrajin
tahu dan tempe harus menghentikan produksi.
Ketidakpedulian
pemerintah bukan hanya kepada para buruh saja ternyata para pengusaha kecil pun
mereka abaikan padahal kedua jenis makan kecil itu adalah makanan rakyatnya
sendiri. Entah bagaimana nasib buruh disebuah kawasan industri yang sedang aku bela karena menurut pengakuan karyawannya uang makan yang mereka terima hanya dua ratus
lima puluh ribu rupiah. Entah apa yang harus mereka makan dengan uang yang mereka
terima sejumlah itu.
Dilema pilihan itu kembali membayanginya menjadi seorang pegawai yang makmur tanpa peduli
dengan nasib buruh lain atau terus berjuang membela buruh yang tertindas.
Jadi teringat akan sebuah kata-kata bijak yang aku dengan dari seorang Ustadz dalam sebuah
majlis taklim. “Hidup adalah sebuah pilihan Jika penderitaan itu adalah
matahari, dan kebahagian itu adalah hujan, maka kita butuh keduanya untuk
melihat pelangi”.
Aah....Bisakah
menggapai keduanya menjadi pelangi yang
indah dalam perjalanan hidup?
“Bang ayo dimakan kok
masih ngelamun aja, gak ada tempe sama tahu ya” teguran istri membuyarkan
lamunan itu.
PI, 09 Nopember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar