Minggu, 09 Desember 2012

(Cerpen) Pilihan Di Antara Dua Jalan.



By: Sahabatbaik

Aaaahh….”  sambil memeras rambut, suara orasi salah seorang pengurus serikat pekerja itu sudah tidakku  hiraukan lagi bahkan nyaris tidak terdengar yang ada dalam pikiranku saat ini  adalah bagaimana menyelesaikan dua masalah yang kuhadapi. Serasa sesak dada bila mengingat dua pilihan yang cukup berat ini. Belum lagi mendengar pembicaraan teman-teman yang justru semakin menyudutkan diriku, padahal aku  ingin mendapatkan solusi dari masalah yang kuhadapi. Sementara waktu semakin mendesak aku  untuk segera mengambil keputusan.

Kawan seperjuangannya diserikat pekerja, Mansur teman berbagi cerita saat ini, bukan memberikan jalan keluar dari dua pilihan yang kuhadapi malah mendesak aku untuk berpihak kepadanya dalam melanjutkan perjuangannya diserikat pekerja.

 “Bung Harun apakah kau akan tinggal diam membiarkan serikat pekerja ini didominasi oleh Tono dan membawanya kepada kearah yang tidak jelas”.
“Siapa lagi yang akan menggantikan Aku memegang pucuk pimpinan serikat pekerja ini,karena saya tak mungkin untuk menjabat untuk periode yang ketiga?”.
”Apakah kau tidak sadar organisasi kita saat ini sarat dengan kepentingan pragmatis,orang-orang yang mencari keuntungan dari organisasi ini, orang yang tidak peduli dengan buruh dan pro kepada pemilik perusahaan ini”?.
Kata-kata mansur yang selalu terngiang-ngiang  di telinga  menambah beban berat pikiranku.


Mansur  adalah salah seorang teman yang mempunyai pemikiran yang sama denganku, dialah salah seorang pengurus yang masih mempunyai idealisme untuk berjuang membela kepentingan buruh, Dia pula yang memperkenalkan aku dengan dunia perburuhan. Dia yang membawa aku kesetiap acara seminar atau workshop tentang perburuhan.

Tanpa kusadari ternyata mansur sangat ingin aku menjadi pengganti dia dalam kepengurusan serikat pekerja tersebut. Sudah dua periode  dia menjabat sebagai ketua serikat pekerja, tak lama lagi masa kepengurusan akan berakhir dan  dia tidak ingin kepengurusan yang akan datang jatuh kepada orang yang tidak membela kepada kepentingan buruh atau orang orang yang pragmatis yang ingin mencari kepentingan pribadi pada kepengurusan organisasi ini atau  bahkan orang-orang yang memang dirancang oleh pemilik perusahaan untuk mengambil alih serikat pekerja agar tidak menjadi radikal seperti saat ini.

......

”Hore ayah pulang............” demikian sambut anakku yang memasuki usia dua tahun menyergap kaki kananku. Aku biarkan kaki ini melangkah dengan berat karena pelukan jagoan kecil pada betis kaki  yang menjadikan kebiasaanya dalam bermain-main denganku. ” Ayo kuda-kuda jalannya cepet dong” teriak anakku. Sengaja aku jalan berputar-putar demi untuk menyenangkan anakku.

” Ade udah dong jangan begitu terus kasihan tuh ayah kan cape pulang kerja” kata istriku melihat aku yang kelelahan setelah sepanjang hari bekerja.
Ya ibu, ade kan lagi main kuda-kudaan, ya kan ayah” sikecil mencari pembelaan pada ku. ”Ya ga apa-apa tapi ade udah mandi belum?” tanyaku.
”Ya udah ade mandi dulu ya ayah nanti main kuda-kuda lagi” Suara cadel itu meluncur dari  mulutnya yang mungil, aku hanya tersenyum mengiyakan. Kemudian dia berlari ke kamar mandi.

“Bang beras kita sudah mau habis,susu hamil saya juga sudah mau habis saya kadang gak enak makan nasi serasa mual” Adu istriku sambil memegang perutnya yang sedang hamil enam bulan calon anak kami yang kedua. Sebuah perkataan yang menyadarkanku dari lamunan ketika melihat anakku yang merasa senang keinginannya untuk bermain dituruti.
“Sabarlah lis, nanti coba abang mau ketemu sama ketua koperasi agar limit belanja dikoperasi bisa ditambah” jawabku lirih.

dok pribadi
Demo buruh 
Semenjak aku aktif di kegiatan organisasi ditambah lagi eskalasi pergerakan perburuhan yang semangkin meningkat hampir hampir aku tidak sempat untuk bekerja lembur yang merupakan tambahan dari penghasilanku. Sementara bisnis yang aku jalani pun tersendat, sehingga begini akhirnya setiap bulan belanja kebutuhan dapurku selalu tekor. Beruntungnya aku masih bisa berhutang di koperasi.

Kalau mengingat itu semua kembali sebuah dilema pilihan jalan hidup kembali terngiang-ngiang, antara berjuang bersama kawan-kawan membela ketertindasan dan kesewenang-wenangan para pengusaha terhadap buruh. Mereka mengeksploitasi tenaga buruh untuk menghasilkan produknya sementara penghasilan yang di terima sangat jauh dibawah upah yang layak belum lagi status mereka yang sebagai buruh outsourching maupun kontrak yang sewaktu waktu bisa terputus hubungan kerja tanpa mendapatkan apa apa.

Namun bayang-bayang pertemuan  itupun masih teringat saat aku  dipanggil oleh seorang  manajer  yang tak lain ada teman satu angkatanku  ketika kuliah dulu. Agaknya ia ditugaskan  untuk  membujukku agar menghentikan semua aktivitas di perburuhan dan dia menjanjikan  akan memberikan sebuah kenaikan jabatan serta otomatis gaji yang diterima pun akan meningkat belum lagi tunjangan kendaraan sebagai fasilitas yang akan didapat dari jabatan tersebut belum lagi tunjangan fantastis lainnya.

Sepertinya sang kawan itu lupa ketika sewaktu kuliah dulu dengan setumpuk idealisme yang diusung ketika sama-sama aktif di pergerakan mahasiswa selalu lantang menyuarakan ketidakadilan di negeri ini. Jabatan memang telah membuat silau dan melunturkan idealisme.
Tak ada beda dengan sebagian mantan aktivis mahasiswa yang dulu berteriak dengan lantang di parlemen jalanan tapi ketika mereka berada di gedung parlemen dengan kursi empuk, ketika mereka menjadi asisten mentri bahkan asisiten presiden lupalah mereka dengan segala teriakan perjuangan, bahkan sudah menjadi mentripun terlibat korupsi dan suap, Sungguh ironis.....!!!.

Sang kawan itu  memberikan jeda waktu seminggu untuk menjawab tawaran itu, sebuah tawaran yang mengiurkan di tengah hidupku  yang terhimpit oleh kesulitan yang aku sendiri sudah merasa bosan menghadapinya dan ingin berusaha meningkatkan tarap hidupku.  Aku ingin membangun rumah tangganya menuju kemakmuran dan memberi pendidikan yang layak untuk anak-anakku. Terbersit rasa iri oleh kemakmuran sang kawan tersebut.

“Bang .... ayo makan tuh sudah lis sediakan dimeja makan”, tegur istriku membuyarkan lamunan itu. Kulihat di meja makan ada sepiring nasi yang ditemani oleh urap kangkung dan ikan asin, namun tanpa sepotong pun tahu dan tempe. Aku tidak berani menanyakan kedua makanan kesukaan  itu karena akupun tahu dikoran dan televisi harga kedelai yang melonjak membuat para pengusaha kecil pengrajin  tahu dan tempe harus menghentikan produksi.

Ketidakpedulian pemerintah bukan hanya kepada para buruh saja ternyata para pengusaha kecil pun mereka abaikan padahal kedua jenis makan kecil itu adalah makanan rakyatnya sendiri. Entah bagaimana nasib buruh disebuah kawasan industri yang sedang aku  bela karena menurut  pengakuan karyawannya uang makan yang mereka terima hanya dua ratus lima puluh ribu rupiah. Entah apa yang harus mereka makan dengan uang yang  mereka terima sejumlah itu.

Dilema pilihan itu kembali membayanginya menjadi  seorang pegawai yang makmur tanpa peduli dengan nasib buruh lain atau terus berjuang membela buruh yang tertindas.

Jadi teringat akan sebuah kata-kata bijak yang aku dengan dari seorang Ustadz dalam sebuah majlis taklim. “Hidup adalah sebuah pilihan Jika penderitaan itu adalah matahari, dan kebahagian itu adalah hujan, maka kita butuh keduanya untuk melihat pelangi”.

Aah....Bisakah menggapai keduanya  menjadi pelangi yang indah dalam perjalanan hidup?

 “Bang ayo dimakan kok masih ngelamun aja, gak ada tempe sama tahu ya” teguran istri membuyarkan lamunan itu.

 PI, 09 Nopember 2012.

“Tulisan ini adalah cerita fiksi/karangan Mohon maaf  apabila  dalam tulisan ini ada kesamaan nama dan tempat semua hanya kebetulan saja"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar