Minggu, 15 Oktober 2017

Catatan Perjalanan Para Pengembara

Peserta Kemah Bakti Nusantara
Bersahabat dengan alam,itulah yang kami rasakan ketika harus hidup di alam terbuka hutan pegunungan. Apalagi hidup di alam terbuka itu tanpa bekal makanan. Maka rasa parno akan menghantui kita, apa yang akan kita makan dihutan tanpa bekal logistik...?. Menjadi kegelisahan besar buat kita yang terbiasa hidup serba instan dan gadget ditangan harus menjalani hidup survival di hutan. Inilah sekelumit perjalan kami dalam acara Kemah Bakti Nusantara (Kembara) PKS Kabuapten Bekasi.

Selepas subuh kami sudah merasa kelaparan ditengah hutan tropis Gunung Halimun salak. Tak ada nasi uduk plus semur jengkol atau bubur ayam dan teh manis yang biasa kita dapatkan sarapan pagi dirumah masing masing, apalagi gemblong makanan kesuakaanku ...!!!!, ini di hutan...bro...!!!

Akhirnya seorang teman menemukan tumbuhan liar yang boleh dimakan dihutan menurut arahan dari instruktur. “Begonia” nama Tumbuhan itu, daun dan akarnya dibuang yang dimakan hanya batangnya, dan rasanya.......uuaseemmmm dan kecut mirip belimbing wuluh. Walaupun baru melihat dan aneh tapi pagi ini menjadi sarapan yang mewah buat kami. Agar tak terasa kecut bisa dimakan memakai garam. Ya hanya garam perbekalan yang boleh kami bawa.

Menjelang siang kami  berjalan menyusuri hutan punggung gunung halimun. Kembali rasa lapar menyergap....cacing cacing diperut berontak seperti marah karena dipaksa untuk memakan begonia yang asam dan kecut.


Camp kedua berhasil kami capai, lantas kita membuat  bivak persis dibawa pohon yang kita yakini itu adalah pohon jambu hutan. Alhamdulillah,  kata yang terucap karena kita mendapatkan makanan untuk mengganjal perut siang ini.

Selesai membuat bivak ketua regu kami dengan sigap langsung naik keatas pohon jambu hutan seolah olah ingin menunjukkan rasa tanggung terhadap anggotanya yang kelaparan.  Beberapa butir jambu yang agak besar akhir didapatkan, masing masing dari kami mendapatkan dua buah jambu hutan.

Jangan bayangkan jambu hutan itu seperti jambu air yang biasa kita tanam di depan rumah. Kalau dari bentuk memang mirip jambu air, tapi agak kecil itu yang sudah matang dan berbentuk jambu kalau yang masih kecil tidak terlihat seperti jambu. Lagi lagi kami merasakan keanehan makanan ini. Walaupun kecil ternyata daging jambu cukup keras jadi kita harus sedikit bertenaga ketika menggigitnya dan didalam jambu terdapat cairan yang lebih mirip lendir,ah… kami makan juga jambu itu walaupun tidak mengenyangkan. Tinggallah cacing cacing dalam tubuh ini berontak untuk kesekian kalinya.

Tengah pasrah dengan makanan seadanya dan kelelahan, tiba tiba seorang teman kami berteriak seolah olah menemukan harta karun ditengah hutan,

“ Hey, teman teman saya dapat ini, kata instruktur ini bisa di makan lho,” ujarnya.

Melihat dari bentuknya saja saya sudah tidak berselera sebuah batang pohon yang ditumbuhi bulu bulu halus mirip bulu monyet.

“itu pohon apa...?, tanyaku

“ini pakis haji kalau kita belah dalamnya bisa kita makan,”katanya lagi sambil membelah batang pohon itu. Tampaklah daging batang pohon itu berwarna putih seperti singkong.

“Mau gak..? Ayo makan kayaknya enak nih,” ucap dia kepadaku yang tampaknya dia juga ragu ragu untuk memakannya.  Kenapa pula saya dulu yang disuruh makan duluan apakah saya harus jadi kelinci percobaan...?.

Akhir dia makan juga batang pakis haji walau dia tampak ragu. Ekspresi wajah yang datar dan tanpa rasa membuat kami tambah ragu bahwa batang pakis itu gak enak dimakan. Dia yang mengunyah sepertinya menyadari kalau ada keragu raguan pada wajah kawan kawannya. “Lumayan akhi untuk ganjal perut, mirip singkong,  kan mengandung karbohidrat bisa untuk bertahan sampai malamlah,” ujar sang kawan menyakinkan kami agar bisa sama sama merasakan batang pakis haji.

Dipojok sana, dalam bivak ada teman kami yang memegang perut karena masuk angin, bisa jadi karena perutnya belum terisi makanan pokok yang biasa dia makan, tanpa ragu menggelengkan kepala tanda tidak mau dengan makanan itu.

Mendengar kata karbohidrat saya mencoba untuk memakannya, barangkali bisa menenangkan cacing cacing perut yang berontak, sepotong batang putih itu masuk melalui kerongkongan tanpa rasa apapun dan dengan bantuan air minum agar bisa melaju menuju lambung agak seret untuk ditelan. Aah....rasa cukup sekali saja untuk memakannya,sabarlah wahai cacing lambung bukan Cuma kau yang menderita akupun ingin menjerit “gak enaaaaaaakkkk,”  tapi biasa

Dunia kembali hening semua merasakan apa yang akan terjadi pada perut masing masing.

Selang beberapa saat kemudian seorang kawan membawa beberapa sisir pisang yang didapat dari perburuannya. Pisang hutan kami menyebutnya karena berbeda dangan pisang yang biasa kita makan, pisangnya agak kecil kecil dan kebetulan pisang yang didapat pisang muda masih mentah dan hijau. Agak sedikit anehlah penampakan pisang itu.

“Supaya bisa dimakan kita bakar dulu aja,” katanya,  sambil mengumpulkan ranting dan daun daun kering untuk dibakar. Melihat bentuk pisang hutan yang lain dari umumnya kali ini saya tak ingin kenapa PHP (Pemberi Harapan Palsu). Hanya melihat dari dalam bivak proses pembakaran  pisang itu.

Dan ternyata benar juga dugaanku, setelah bersusah membakar pisangnya sampai ada yang gosong dan setengah matang. Begitu dia dibuka pisang itu ternyata tidak  ada yang bisa dimakan karena isinya hanya biji biji pisang yang menghitam sementara pisangnya atau daging pisangnya tak ada yang ada hanya lapisan putih seperti kapas.
Sang kawan yang sedang kelaparan nampak terduduk lemas dengan wajah penuh kekecewaan. Dia kembali ke bivak dan merebahkan tubuhnya sambil memegang perut yang lapar. Hilanglah impian memakan pisang bakar.....,

Aku yang juga terbaring di bivak ikut merasakan kesedihan dan berdoa semoga dia tabah menerima kenyataan. Rasa ingin berteriak kesedihan,  “ Aku ingin pindah ke Meikarta",....eh Bekasi. Sesat suasana hening masing semua terkapar dalam bivak ada yang tilawah quran ada yang tertidur mungkin juga ada sedang berhalusinasi.

Ditengah keheningan itu tiba tiba terdengar suara keok keok ayam dan terikan seorang teman. “Hei..., kawan kawan saya dapat Ayam hutan nih...!.”  Semua terperanjat seakan tak percaya. Inilah  rejeki yang diberikan Allah kepada hamba hambaNYA yang sabar menahan lapar.  Tanpa rapat komisi pak ketua regu memberi perintah ayo kamu yang potong dan olah sampai bersih.  “Saya yang siapin bakarannya pak,” jawabku semangat ingin segera makan besar ayam bakar hutan.

Langsung kubakar kembali sisa sisa pembakaran pisan dengan menambah daun dan ranting ranting pohon yang kering, kemudian mengipas ngipas agar cepat menjadi bara dan cepat pula makan ayam bakar hutan.

Ketika sedang menikmati pembakaran api tiba tiba……..daaarrr….daarr…….daaaarrr………, suara petasan ditengah gunung menggema, itu merupakan tanda dari panitia untuk segera mergerak meninggalkan camp itu melanjutkan perjalan.

Aku terkaget kaget dan beristigfar sambil melihat sisa sisa pembakaran pisang yang sudah padam dan tak berasap. Oh….ternyata ayam bakar hutan itu cuma halusinasiku…hiks….hiks…hiks…, OH AYAM BAKAR HUTAN…….. )-: …….. CUMI ( Cuma Mimpi) di siang bolong.

Cidahu Sukabumi, 16 September 2017

By: SahabatBaik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar