Jumat, 01 Juli 2016

Sang Bapak dan Kentongan Bambu




"Tong.....tong.....tong.....trotong..tong.....tong...tong."

Suara pukulan kentongan yang terbuat dari bambu berbunyi menggema seantereo kampung, bahkan nyaris amplitudo suara dari kentongan yang berada dilembah kecil itu sepertinya sampai ke kaki gunung haruman di tengah malam yang sunyi pukul setengah tiga dini hari.

Kemudian berlanjut dengan suara bariton, dengan intonasi khas menggunakan bahasa sunda, melalui speaker musholla.

"gugah...gugah...,bapak..bapak,ibu ibu..geura garugah. Hayu sholat tahajud....,"

kalau di bulan ramadhan ada ucapan tambahan dikhususkan kepada ibu ibu, agar segera masak untuk persiapan sahur.

Suara rutin itu sudah terbiasa terdengar ditelinga penduduk kampung. Ketika suara itu tidak mengudara para warga kampung sudah memahami karena dua hal.

Lelaki tua yang membangunkan penduduk melalui kentongan dan speaker itu, bisa jadi dia sedang pergi kejakarta mengunjungi anak dan cucunya atau dia sedang sakit. Kabar ini biasa menyebar dari mulut kemulut ketika para penduduk saling bertemu dipersawahan atau di kebun.

Bila mendapatkan kabar sakit maka warga kampung silih berganti menjenguk lelaki tua itu.

Lelaki tua yang menghabiskan waktu pensiun dari pekerjaannya sebagai abdi negara, kini menghabiskan waktu tuanya dengan menjadi seorang petani dan menjadi seorang pengurus masjid.

Masjid kampung yang sebelumnya tidak terurus,bangunannya mulai rusak,managemen masjid amburadul dikelolanya secara amanah, sehingga masjid kampung menjadi makmur dengan renovasi bangunan yang bagus hingga menjadi kepercayaan para donatur dan kebanggaan warga kampung.

Suatu ketika sang bapak tujuh anak ini, menangis tak henti henti ketika dia sadar telah berada depan Kabah, melaksanakan umroh atas biaya urunan anak anaknya. Sesuatu yang dulu hanya dilihat gambarnya saja sebagai hiasan dinding dan hanya menontonnya televisi, kini bisa beritikaf di masjidil haram tanpa diberi tahu akan berangkat umroh. Sebuah kejutan yang terduga dari para anaknya.

Ramadhan setahun yang lalu 1436 H sang bapak yang usia melebih rasulullah, 70 tahun terbaring lemah ditempat tidurnya, menyakit tua semakin menggerogotinya.

Saat sakit masih terus teringat akan tugasnya membangunkan warga untuk qiamullail. Kadang menyuruh seorang anak yang mengurusnya, kadang juga sang istri untuk menggantikan memukul kentongan.

Tepat malam malam ganjil dibulan ramadhan malam yang diperkirakan turunnya lailatul qadhar, dalam sakitnya sang bapak, masih melaksanakan kewajiban sholat dipembaringannya, berdzikir bahkan masih membaca tadarusan qur an rutinnya.

Saat istirahat tidur, sesekali dia terbangun menanyakan jam kepada istri yang setia mendampingi dan juga kepada anaknya, sepertinya dia ingin memastikan apakah sudah jam tiga dini hari,sepertinya dia ingin melakukan kebiasaannya, sholat qiamullail dan mengajak serta membangunkan warga kampung untuk turut melaksanakan qiamulail.

Tepat jam tiga, sang anak yang menunggu bapaknya terjaga, tersadar sang bapak tidak lagi menanyakan jam. Tampak dia tertidur lelap,sesuatu yang tidak biasa.

Ketika istrinya membangunkannya, ternyata sang bapak telah lebih dulu dibangunkan dan ajak menghadap Rabbnya oleh Malaikat Izrail.

"Innalillahi Wa Innailahi Rojiun"

"Hai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
masuklah ke dalam surga-Ku".


Malam itu 27 Ramadhan 1436 seperti biasa aku tak ingin melawati malam lailatul qadhar, itikaf ku ikuti walaupun tidak full berdiam diri dimasjid sepanjang hari karena pagi hingga sore harus bekerja mencari nafkah. Sementara libur idul fitri tinggal dua hari. Namun itu tak menyurutkan ku mengejar kemuliaan malam seribu bulan.

Untuk kekhusuan itikaf sengaja handphone aku nonaktiflan.
Malam itu itikaf kuhabiskan dengan berdzikir dengan membaca Al Quran sehingga aku terlelap ketiduran.

Saat pukul tiga lewat dini hari saat para peserta itikaf bersiap siap melaksanakan qiamullail, aku terjaga ketika seorang teman membangunkanku, sementara Al quran yang kubaca telah menutup wajahku.

"Akhi bangun, ada telpon dari istri antum, ditelepon ana karena ditelpon antum gak masuk -masuk" kata temanku.

"Ya telponnya ana non aktifkan, ada apa ya,...?, mana telponnya.."

Lalu kuraih telpon itu, terdengar suara yang tercekat dari istriku yang mengabarkan bahwa bapakku telah wafat, kabar itu baru saja disampaikan oleh keluargaku dari garut.

Seketika aku limbung, dengan tangis dan air mata yang berderai. Teman teman yang menyaksikanku mereka bertanya ada apa denganku. Ku beritahu bahwa bapakku telah wafat.

Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas dosa-dosaku dan dosa-dosa kedua orang tuaku, dan kasihanilah keduanya itu sebagaimana beliau berdua merawatku ketika aku masih kecil, begitu juga kepada seluruh kaum muslimin dan muslimat, semua orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, dan ikutkanlah diantara kami dan mereka dengan kebaikan. Ya Allah, berilah ampun dan belas kasihanilah karena Engkaulah Tuhan yang lebih berbelas kasih dan tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Mu.

Mengenang satu tahun wafatnya ayahanda kami, Oman bin Sukatma, 27 Ramadhan 1436 H.

By : @sahabatbaik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar