Senin, 14 Mei 2012

Cinta Yang Tak Pernah Terukir


By: sahabat baik

Sepasang matanya berkaca-kaca ketika membaca sepucuk surat berwarna hijau muda dengan tulisan yang terukir indah namun deretan kalimat dalam surat itu tak seindah tulisan dan warna kertas.Rasanya enggan untuk membaca kembali surat itu cukup sekali membaca sudah bisa dicerna maksud dari surat tersebut.Kembali dirinya menerawang menatap kosong langit-langit kamarnya.

Gadis itu  tinggi semampai dengan rambut sebahu.Usianya satu setengah tahun lebih muda dari dirinya. Jarak rumah mereka tidak begitu jauh sehingga wajar kalau mereka saling mengenal bahkan mereka bersekolah ditempat yang sama namun berbeda angkatan. kelas dua dan kelas tiga sebuah SMU.

Ketika itu hari-hari seperti terasa indah bersahabat dengan seorang gadis yang selalu ceria. Hampir semua eskul disekolah mereka ikuti. Persahabatan mereka laksana kumbang dan bunga yang saling membutuhkan.

Namun hari itu semua masa lalu yang telah terkubur kembali dan terkoyak oleh selembar kertas hijau muda. Ada rasa menyesal mengapa cinta itu hadir diujung kehidupan sebuah persahabatan salahkah dengan perasaan yang  tidak pernah  diungkap selama sekian tahun.
.................


.
“Hai Din, kamu ini sarjana dari universitas yang hebat di Bandung kok mau-maunya mengajar disekolah SD terpencil, jadi beginilah akibat  wajar saja gadis kota itu menolak cintamu” Agus seorang sahabat setia yang selalu menjadi teman curhat mencoba untuk membantu kesulitannya  .

“sudahlah din kau lupakan saja gadismu itu lagian mana ada orang kota mau berdiam dikampung pinggir gunung ini” Sapa Agus kembali kepada Mahfudin yang matanya masih berkaca-kaca setelah membaca surat yang kini diremas remasnya

Setahun lebih sudah Mahfudin mengabdi di sebuah sekolah dasar yang terpencil sebuah sekolah yang hampir mirip tempat peternakan ayam dikaki Gunung Kancil sebuah daerah di Cibatu kabupaten Garut Jawa Barat,  yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari tempat dia tinggal yang berada di kota kecamatan.

Dipikir ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh sahabat setianya agus, Sudah hampir setahun semenjak di wisuda lalu dia pulang kekampung halaman. Dengan bekal idealismenya ingin membangun kampung halaman dari ilmu yang di dapatnya di tempat belajar.
...........

Pagi itu dia telah melupakan goresan pena dalam surat penolakan cinta yang sangat menusuk lubuk hatinya. Cinta yang dia pendam bertahun-tahun, cinta yang di ukir indah akhirnya kandas dalam selembar kertas.

Ditatapnya sang murid yang datang dengan  baju putih yang tak layak disebut putih dengan celana seragam merah yang tak lagi merah. Mungkin orang yang baru melihat akan merasa heran dengan kondisi sang murid karena seperti tidak pantas untuk berangkat sekolah. Pakaian seragam yang lusuh tanpa sepatu hanya mengenakan sendal, hanya dua buku yang dia bawa di dalam keranjang beserta pisau arit untuk menyabit rumput.

“Punten pak guru, saya disuruh abah ngarit setelah pulang sekolah” jawab Somad. sang murid yang seakan akan mengerti dengan keheranan Pak Mahfudin guru yang dihormatinya. “ Ya gak apa apa silahkan masuk tapi keranjangnya disimpan saja diluar”jawab pak guru dengan lembut. Ada rasa haru dihatinya dengan semangat belajar murid muridnya ditengah desakan ekonomi dan tuntutan pekerjaan yang dibebankan oleh orang tua mereka tapi mereka masih menyempatkan diri untuk sekolah menimbah ilmu.

Namun hal itu tidak berlaku ketika musim panen tiba. Dia pernah merasakan ketika tidak ada satupun murid yang datang kesekolah walau telah ditunggu sampai waktu siang tiba, hal ini berlangsung sampai beberapa hari. Penasaran akan hal itu maka ia pun mencoba untuk mencari tahu permasalahannya karena hal ini akan mengganggu proses belajar mengajar. Ternyata murid-murid yang di tunggunya sedang membantu orang tua mereka menjadi buruh tani memanen padi di sawah orang-orang yang membutuhkan tenaganya.

Teng....teng....teng.....bel dari potongan besi mengeluarkan suara karena pukulan mengingat guru dan murid tanda awal belajar dimulai pagi itu. Kini Mahfudin menyiapkan diri untuk mengajar para murid calon generasi penerus negeri ini. Di tatapnya para murid yang mempunyai semangat belajar begitu tinggi, rasa cinta kini ia  salurkannya kepada anak-anak kampung yang mempunyai semangat untuk menuntut ilmu. Cinta, jodoh dan kematian adalah kehendak yang kuasa, dipasrahkan semua kepada-Nya.


Kartika Wanasari,  14 Mei 2012

.




4 komentar: